Menu Blog

Senin, 07 Januari 2013

Orang Jerman Tak Malu Berbahasa Daerah (Dialek)


Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan beragam bangsa dan bahasa yang tersebar di 5 pulau besar dan ribuan pulau kecilnya. Kekayaan alam dan akal budi manusianya itu hendaknya dilestarikan, bukan untuk dirusak bahkan ditinggalkan begitu saja.

Bahasa daerah yang menjadi salah satu hasil olahan akal dan pikiran manusia yang mengenal nilai dan norma itu sayangnya belum selalu menjadi sebuah kebanggaan. Beberapa orang akan lebih bangga jika bisa berbahasa asing atau berbahasa gaul. Waktu saya muda dan tinggal di Semarang, banyak kawan-kawan yang bangga dengan lu-lu, gue-gue … lidah kelu lalu memble.
Lain halnya dengan di Jerman. Banyak orang yang masih paham dan melestarikan bahasa daerah. Mereka tidak malu, mereka tidak ragu. PD. Bahasa Jerman yang menjadi Hochdeutsch alias bahasa yang dianggap formal dan tinggi itu tentu saja masih menjadi pegangan. Bukankah ini seperti halnya dengan keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan beraneka bahasa daerah/dialek (Jawa, misalnya)? Semoga tidak ada orang Jawa yang tidak bisa berbahasa daerah dan tak ada yang malu berbahasa ini lantaran takut dikatakan kampungan. Jangankan disuruh krama inggil, ngoko saja bisa jadi kerepotan. Begitu pula dengan bahasa daerah lainnya karena banyak ditinggalkan penggunanya? Untung masih ada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, ya?
***
Hari amat dingin, kami mengajak anak-anak dan RA untuk jalan-jalan ke pusat kota. Selain menikmati keramaian Marktplatz dan sekitarnya, kami mengunjungi saudara lelaki RA yang membuka usaha restoran Jerman.
Sambutan meriah dan hangat dari keluarga yang dikunjungi. Meski mereka sedang sibuk mempersiapkan pesta tahun baru untuk 120 orang, pagi itu tak ada muka cemberut meski pekerjaan terhenti sejenak.
1357488588584129311
Kosakata dialek Jerman di tisu resto kota
Kamipun dijamu makanan menu Jerman. Perangkat makan dan minum ditata untuk kami. Sebuah tisu menarik perhatian saya. Lipatan panjang itu menampilkan gambar lambang daerah dan tulisan daerah „J b’stell schwäbisch und J g’nieß schwäbisch. Gruß aus Schwaben“ (red: Saya memesan masakan Schwaben dan menikmati bahasa Schwabisch. Salam hangat dari Schwaben). Di bagian belakangnya, tertera daftar bahasa daerah rakyat Jerman bagian Schwaben, Baden Württemberg itu, namanya Schwabisch. Padahal katanya, tamu resto itu dari semua golongan dan berbagai daerah … bahasa ini unjuk gigi.
Saya memang tidak begitu paham bahasa dialek ini. Karena memang saya hanya belajar selama 6 bulan Hochdeutsch (bukan Schwäbisch) di Jerman tahun 2006. Meski tinggal di masyarakat yang menggunakan bahasa ini, saya hanya hafal kata-kata dalam hitungan jari-jemari sahaja.
Pelan tapi mantap, saya baca dialek itu. Suami dan pemilik resto tertawa, lidah sayanggak pas. Hahaha. Silahkan dicoba:
J schwätz schwäbisch= Ich spreche Schwäbisch (red: saya berbicara dalam dialek Schwaben)
Grißgodd = Guten Tag (red: selamat siang)
Frailain = Kellnerin/Bedienung (red: pelayan)
Schbeiskard = Speisekarte (red: daftar menu)
Äbbes Bsonders = Spezialität (red: makanan khas)
Gluschda = Appetit auf etwas (red: rasa lapar akan)
A Halbe = 1 Bier (red: 1 bir)
A Vierdele = Glass Wein ¼ Liter (red: segelas anggur, 250 ml)
Nackade = Bratwürste (red: sosis goreng)
Epfelbrei = Apfelmus (red: bubur dari apel)
Versperbrood = kaltes Essen mit Brot (red: makanan dingin berupa roti diselipi salami dan atau sayur)
Leffele = kleiner Löffel (red: sendok kecil)
Groddafalsch = total verkehrt (red: salah pesan)
Viel z’hoiss = zu heiß (red: terlalu panas)
Romgugga = herumschauen (red: lihat-lihat)
S hod gschmeckt = es war gut (red: lezat)
Saumäßig gut = sehr gut (red: sangat lezat)
Dr Ranza schband = ich bin satt (red: saya kenyang)
Dränggeld = Trinkgeld (red: uang tip)
Sisch guad so = der Rest ist für Sie (red: sisanya untuk Anda)
Schorle = Getränk, halb Wein, halb Mineralwasser (red: minuman campuran, separoh anggur, separoh air mineral bergas)
Enteklemmer = geiziger Mensch (red: orang pelit)
Breschdling = Gartenerdbeeren (red: stroberi kebun)
Gzälzbrod = Marmeladenbrot (red: roti berselai)
Krumbiere = Kartoffeln (red: kentang)
Flädläsupp = Suppe mit Pfannkuchenstreifen (red: sup dengan irisan roti dadar)
Ade = Auf wiedersehen (red: sampai jumpa)
hot grad g’langt = es war sehr reichlich (red: sangat cukup)
***
Begitulah, kemantapan warga Jerman daerah bagian Schwarzwald si blackforestdalam berbahasa daerah. Saya tidak tahu apakah warga di kota besar juga demikian. Mungkin karena kami masih tinggal di daerah pegunungan, bahasa daerah ini masih subur dipakai rakyatnya.
Saya hanya mendengar bahwa di Jerman, masing-masing negara bagian memiliki dialek sendiri. Orang Bayern dengan Bayerisch, dimana bahasa daerahnya sulit saya mengerti. Begitu pula orang Bayern agak sukar memahami bangsa Schwaben dan seterusnya.
Dahulu, mertua dan suami senang menggunakan bahasa daerah ini untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Sekarang, suami menggunakan Schwabisch danHochdeutsch sedangkan saya lebih memilih Hochdeutsch dan bahasa Indonesia. Dibandingkan dengan sepupu dan kemenakan lain, anak-anak kami tidak begitu kental bahasa daerahnya.
Ada beberapa orang yang menganggap ini kampungan, bahasa Bauer (red: petani). Nyatanya banyak orang memakainya bahkan para pemilik pabrik terkenal di wilayah kami juga bercakap-cakap memakai bahasa ini. Kawan-kawan saya yang seumuran sampai usia 80-an, bahasa daerahnya amat kental. Untungnya karena mereka ini mengerti saya orang asing, mereka amat pelan-pelan untuk melafalkan kata dan berusaha sekeras mungkin untuk berbicara dengan bahasa Jerman formal (Hochdeutsch) kepada saya. Hahah, mustinya saya yang harus belajar tapi malah justru orang lokal yang menyesuaikan saya. Duh, bahasa Jerman yang formal saja sudah membuat saya capek apalagi bahasa tradisionalnya? Oyoyoy!
***
Jadi, dari apa yang saya dengar dan lihat di lapangan, saya beranggapan berbahasa daerah di Jerman bukan berarti kampungan. Ini ciri khas daerah tertentu. Semoga demikian adanya dengan di tanah air.
Kalau bangsa Jerman yang modern dan maju saja masih mau melestarikan bahasa daerahnya. Mengapa kita tidak ? Tak perlu malu untuk ngapak-ngapak (Banyumas), ngarek-arek (Surabaya), njawa (Jawa), betawian (Jakarta) dan seterusnya. Jangan tertawakan siapapun yang berbahasa daerah. Bukankah perbedaan itu indah ? Mari tetap berbangga hati melestarikan bahasa daerah seperti halnya bangsa Schwaben di Jerman ini. (G76)
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© KURNIAWATI KANUR
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top